Pemerintah memiliki target yang ambisius dalam mengurangi emisi karbon, khususnya di sektor kelistrikan dan batu bara. Bahkan, pemerintah berencana memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara 9,2 Giga Watt (GW) sebelum 2030.

Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran berpandangan, cara instan mengurangi emisi karbon adalah dengan mendorong pemakaian kendaraan listrik. Dengan beralih ke kendaraan listrik, menurutnya emisi karbon bisa berkurang dalam waktu singkat.

"Jadi kalau mau dalam waktu relatif singkat kurangi emisi, kita tata di sektor transportasi," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (09/11/2021).


Dia menyebut, pengalihan kendaraan berbasis fosil atau bahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik dan ini digencarkan menjadi gerakan menuju 2030, maka ini bisa berdampak pada penghematan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM).

"Penghematan berapa juta kilo liter (BBM) dalam setahun, kemudian kompensasi tadi dipasok dari listrik EBT, demand naik, EBT naik," jelasnya.

Namun saat ini pemerintah lebih getol mengurangi emisi karbon dengan memensiunkan pembangkit listrik berbasis batu bara. Tumiran menyarankan agar rencana ini dikaji ulang. Menurutnya, rencana memensiunkan PLTU hingga 9,2 GW belum tentu tepat dan perlu kajian komprehensif.

"Saya berpendapat sebenarnya pemikiran percepatan pensiunkan PLTU belum tentu tepat, harus ada kajian komprehensif," ucapnya.

Dia mempertanyakan jika PLTU dipensiunkan di Jawa, apakah ada pembangkit yang bisa menggantikan dengan kapasitas sebesar itu. Sumber energi baru terbarukan (EBT) dari panas bumi sudah tidak banyak lagi di Jawa dan pembangkit hidro juga terbatas.

Menurutnya, ke depan permintaan listrik masih akan tumbuh. Dia mengatakan, dari konsumsi listrik RI saat ini masih di kisaran 1.100 kilo Watt hour (kWh) per kapita, maka diperkirakan akan naik menjadi 2.000-2.500 kWh per kapita.

Dengan demikian, menurutnya kebutuhan energi yang besar ini tidak bisa hanya bergantung pada energi terbarukan yang bersifat intermittent (berjeda), memiliki keterbatasan faktor cuaca, dan tidak bisa beroperasi terus-menerus.

"Kalau di Jawa ditekan, kalau demand naik jadi 2.000-2.500 kWh per kapita harus siapkan pembangkit continues gak bisa intermittent. Coba bandingkan saja dengan China dengan penduduk 1,5 miliar punya 1.000 GW pembangkit batu bara," paparnya.

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved